
Rasa nyeri (pain) dapat didefinisikan sebagai suatu sensasi terkait kerusakan jaringan atau kejadian yang berpotensi menyebabkan kerusakan jaringan. Nyeri memungkinkan kita untuk menghindari cedera yang lebih luas. Sekalipun begitu, banyak orang ingin terlepas dari perasaan nyeri karena sensasinya yang tidak nyaman sehingga dapat mengganggu aktivitas. Caranya adalah dengan menggunakan obat-obatan penghilang rasa nyeri atau memanfaatkan elektroanalgesia seperti pada transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS).
Prinsip elektroanalgesia sebenarnya sudah ditemukan sejak zaman Yunani Kuno, berdasarkan laporan Scribonius Largus tentang penggunaan ikan yang bisa mengeluarkan listrik untuk meredakan nyeri. Lalu pada abad ke-16 hingga 18 Benjamin Franklin menemukan berbagai alat elektrostatik yang biasa digunakan untuk menghilangkan sakit kepala dan berbagai nyeri lainnya. Pada abad ke-19 barulah ditemukan alat bernama electreat yang prinsipnya kurang-lebih sama dengan TENS saat ini, hanya saja alat ini tidak portabel dan kemampuan mengontrol nyerinya pun terbatas.
TENS modern pertama kali dipatenkan pada tahun 1974. Satu unit TENS terdiri atas satu atau lebih generator listrik, baterai, dan satu set elektroda. Elektroda-elektroda tersebut biasanya ditempatkan di permukaan kulit pada bagian yang terasa nyeri, meski penempatan di tempat lain seperti di atas saraf, tempat pemicu rasa nyeri, dan titik-titik akupunktur juga dapat memberikan efek yang signifikan. Pasien diinstruksikan untuk mengatur sendiri frekuensi dan intensitas aliran listrik yang menurut mereka paling baik untuk mengontrol rasa nyeri.
Bagaimana cara TENS dapat menghilangkan nyeri? Penelitian menunjukkan bahwa stimulasi listrik dari TENS mengaktivasi serat-serat saraf bermielin dengan ambang rangsang rendah. Input aferen dari serat-serat saraf tersebut menghambat perambatan impuls nosiseptif dalam serat C yang kecil tak bermielin dengan menutup “gerbang” yang menghantarkan impuls nosiseptif ke talamus dan korteks. Teori gate-control ini dijelaskan oleh Melzack dan Wall pada tahun 1965.
Terdapat tiga pilihan yang dapat digunakan dalam aplikasi TENS, yaitu TENS konvensional, akupunktur, dan pulsed TENS. TENS konvensional memiliki frekuensi tinggi (40-150 Hz) dan intensitas rendah (10-30 mA). Durasi pulsasinya singkat (50 ms) dan mampu melenyapkan nyeri hampir seketika. Jika frekuensi diturunkan menjadi 1-10 Hz dan intensitas dinaikkan sampai ke batas toleransi (pengaturan seperti akupunktur) dapat memberikan hasil yang lebih baik, namun sangat tidak nyaman dan banyak pasien yang tidak bisa menoleransinya. Pulsed TENS menggunakan semburan listrik berfrekuensi 1-2 Hz di sela-sela impuls berfrekuensi 10 Hz. Namun belum ditemukan keuntungan metode ini dibandingkan TENS konvensional.
Penggunaan TENS diindikasikan bagi pasien dengan nyeri neurogenik, muskuloskeletal, dan viseral; dismenorea; neuropati diabetik; dan penyakit lain seperti angina pektoris dan mengontrol rasa mual pasca kemoterapi. TENS jarang menimbulkan efek samping, meski 33% pasien ditemukan mengalami iritasi kulit.
Meski penggunaan TENS sangat menyenangkan, terdapat beberapa hal yang patut diperhatikan. Misalnya, pasien yang menggunakan alat pacu jantung tidak boleh menggunakan TENS karena dapat menyebabkan kegagalan dari alat pacu jantung. Wanita hamil juga tidak disarankan menggunakan TENS karena dapat menyebabkan kelahiran prematur. TENS juga tidak boleh ditempatkan sembarangan, contohnya di daerah arteri karotis karena dapat menyebabkan hipotensi melalui perangsangan refleks vagovagal.
TENS memang alat yang praktis untuk mengontrol rasa nyeri. Namun karena belum banyak penelitian resmi mengenainya, kita belum dapat memastikan efektivitasnya jika dibandingkan dengan terapi farmakologis. Meskipun begitu, tidak ada salahnya jika alat ini digunakan, asalkan tetap mengikuti kaidah yang berlaku, dan terutama ingat prinsip kita, first all, do no harm!