Kamis, 15 Desember 2011

Sindrom Guillain-Barre


Sindrom Guillain-Barre (Guillain-Barre Syndrome/GBS) adalah suatu penyakit di sistem saraf perifer yang mengancam hidup,1,2,3,4 dengan insidens kira-kira 0,6-1,9 dari 100.000.1 Terjadi peningkatan insidens dari 0,8 pada orang berusia di bawah 18 tahun hingga 3,2 pada orang berusia di atas 60 tahun.2 Karakteristik penyakit ini adalah kelemahan yang dimulai dari ekstremitas distal namun perlahan-lahan menyebar hingga mempengaruhi fungsi otot-otot proksimal (ascending paralysis). Secara histologis, ciri khas penyakit ini adalah inflamasi dan demielinisasi ujung-ujung saraf spinal dan perifer (radiculoneuropathy).3

Etiologi
Sekitar dua pertiga kasus diawali dengan kelainan akut mirip influenza atau infeksi gastrointestinal yang biasanya menghilang pada saat neuropati mulai menunjukkan gejalanya, tepatnya sekitar 5 hari sampai 3 minggu sebelumnya. Infeksi Campylobacter jejuni, cytomegalovirus, Epstein-Barr virus, dan Mycoplasma pneumoniae juga diketahui memiliki kaitan epidemiologik yang cukup signifikan dengan GBS. Namun pada saraf perifer sendiri tidak ditemukan adanya agen infeksius, karena itu reaksi imunologis diduga sebagai penyebab.1,2,3,4
Sebuah penelitian membuktikan bahwa suatu penyakit inflamasi pada sistem saraf perifer yang mirip dengan GBS muncul pada hewan eksperimental yang diberikan imunisasi dengan keseluruhan saraf perifer, myelin saraf perifer, dan di beberapa spesies, protein basal P2 mielin saraf perifer atau galaktoserebrosida. Terjadi respon imun yang dimediasi sel T, diikuti demielinisasi segmental yang diinduksi makrofag. Penelitian lain menunjukkan limfosit menyebabkan demielinisasi pada kultur jaringan serat saraf termielinisasi. Circulating antibodies mungkin juga berperan.2

Penampakan Histopatologis
Dari pemeriksaan histopatologis, temuan yang dominan adalah inflamasi nervus perifer yang bermanifestasi sebagai infiltrasi limfosit, makrofag, dan sel plasma ke perivenular dan endoneurial. Jumlah sel-sel radang tersebut bervariasi dari hanya beberapa buah (sparse seeding) di ruang perivenous sampai kumpulan besar sel-sel mononuklear yang menyebar ke seluruh nervus. Demielinisasi segmental pada nervus perifer merupakan lesi primer, tapi kerusakan akson juga merupakan ciri khas.3
Pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron, teridentifikasi efek awal pada selubung mielin. Prosesus sitoplasmik makrofag menembus membran basal sel Schwann, terutama pada nodus Ranvier, dan meluas di antara lamela mielin, memisahkan mielin tersebut dari akson. Sisa-sisa selubung mielin kemudian akan dimakan oleh makrofag. Fokus inflamasi dan demielinisasi akan menyebar secara luas di seluruh nervus perifer, namun intensitasnya berbeda. Reaksi inflamasi terkuat biasanya terletak pada radiks saraf motorik spinal dan kranial serta struktur-struktur yang sejajar.3

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis utama dari GBS, seperti yang sudah disebutkan di atas tadi, adalah ascending paralysis.3 Otot-otot proksimal di kaki akan terkena paling dahulu, kemudian dada, intercostal, lengan, leher, dan otot-otot kranial.4 Lebih dari 50% pasien ditemukan mengalami facial diplegia, disfagia, atau disarthria.1 Pada lebih dari 30% pasien akan terjadi gagal napas hingga membutuhkan ventilator.2 Terjadi kerusakan sensorik yang bervariasi pada berbagai pasien; ada yang fungsi sensoriknya tidak berubah sama sekali, dan ada pula yang mengalami kesulitan besar dalam mempersepsikan posisi sendi, getaran, nyeri, dan suhu. Terkadang ada juga pasien yang mengalami papilledema, ataksia sensorik, atau gejala disfungsi otonom (aritmia, hipotensi ortostatik, hipertensi transien). Pada kebanyakan pasien juga akan ditemukan muscle tenderness dan saraf yang sensitif terhadap tekanan.1

Klasifikasi
GBS terdiri atas beberapa subtipe yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1.             Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)
AIDP adalah varian dari GBS di mana terjadi inflamasi dan demielinisasi ujung-ujung saraf spinal dan perifer. Subtipe ini paling banyak ditemukan.1,2,3,4
2.             Acute motor axonal neuropathy (AMAN)
Pada varian GBS yang ini terjadi degenerasi akson motorik dan hanya sedikit inflamasi atau demielinisasi. AMAN biasanya terjadi setelah infeksi Campylobacter jejuni atau injeksi parenteral gangliosida.1
3.             Acute motor sensory axonal neuropathy
Terjadi karena cedera di akson sensorik dan motorik yang diperantarai sistem imun. Subtipe ini banyak disorot karena tergolong berat dan sulit sembuh.2
4.             Miller-Fisher Syndrome
Sindrom Miller-Fisher, yang mencakup 5% dari seluruh kasus GBS, dicirikan dengan gait ataxia, areflexia, dan ophthalmoparesis, terkadang juga terjadi abnormalitas pupil. Sindrom ini termasuk GBS karena biasanya diawali infeksi saluran pernapasan, mengalami progresi selama berminggu-minggu, dan kandungan protein CSF meningkat. Tidak ada kelemahan ekstremitas dan konduksi saraf normal.1
5.             Acute sensory neuropathy/neuronopathy
6.             Acute autonomic neuropathy/pandysautonomia
Kelainan ini dicirikan dengan onset cepat kegagalan sistem saraf simpatis dan parasimpatis tanpa melibatkan saraf sensorik maupun motorik. Pasien menunjukkan hipotensi ortostatik, anhidrosis, mata dan mulut kering, fixed pupils, serta gangguan fungsi usus dan kandung kemih. Sebagian pasien ditemukan memiliki autoantibodi terhadap reseptor asetilkolin ganglionik yang mungkin berperan dalam patogenesis dengan menghambat transmisi kolinergik di ganglia otonom.2

Pemeriksaan
Di awal timbulnya gejala, dapat ditemukan menghilangnya refleks tendon dalam. Peningkatan ringan kadar enzim hati tanpa alasan jelas ditemukan pada kira-kira sepertiga pasien. Hiponatremia juga dapat ditemukan pada pasien yang menggunakan ventilator.2
Untuk memastikan diagnosis, diperlukan pemeriksaan CSF. Pemeriksaan ini menunjukkan peningkatan kadar protein, meski biasanya normal pada beberapa hari pertama.1,2,4 Pada 10% pasien, kadar protein CSF tetap normal. IgG oligoklonal dan peningkatan kadar protein mielin dapat ditemukan pada beberapa pasien.2 Hitung sel biasanya normal, namun pada beberapa pasien ditemukan 10-100 sel mononuklear/µl CSF. Jika penyakit diawali dengan infeksi virus, dapat dibuktikan menggunakan tes serologis. Peningkatan titer antibodi IgA atau IgG pada gangliosida GM1 atau GD1a dapat ditemukan pada subtipe aksonal, sedangkan antibodi anti GQ1b ditemukan pada sindrom Miller-Fisher.1
Abnormalitas pada pemeriksaan elektrofisiologis dapat ditemukan pada 90% kasus dan menunjukkan adanya demielinisasi multifokal terkait degenerasi akson sekunder. Abnormalitas elektrofisiologis yang biasanya ditemukan adalah prolonged distal motor, latensi gelombang F, gelombang F tidak ada atau impersisten, pemblokiran konduksi, penurunan amplitudo CMAF distal, dan penurunan kecepatan konduksi motorik. 2

Tatalaksana
Untuk menghilangkan efek buruk autoantibodi, plasmapheresis (pemindahan antibodi abnormal dari tubuh) dan injeksi intravenous immunoglobulin (IVIG) dosis tinggi terbukti efektif.1,2,4 Enam penelitian yang melibatkan lebih dari 600 pasien membuktikan bahwa plasmapheresis mampu mempersingkat durasi penyembuhan pada pasien dengan GBS akut. Terapi ini direkomendasikan bagi pasien dengan kelemahan otot tingkat menengah hingga parah (hanya bisa berjalan dengan bantuan atau lebih buruk lagi).2 Pertukaran antibodi dilakukan sebanyak lima kali (40-50 mL/kg BB) menggunakan continuous flow machine selama beberapa hari dengan saline dan albumin sebagai cairan pengganti.2,4 Plasmapheresis dapat menimbulkan beberapa komplikasi seperti hematoma pada tempat penusukan, pneumotoraks setelah insersi central line, dan septicemia karena kateter. Septicemia, instabilitas kardiovaskular, dan perdarahan aktif merupakan kontraindikasi.2
Tiga penelitian yang membandingkan plasmapheresis dengan IVIG membuktikan manfaat IVIG pada pemberian lima kali sehari dengan dosis 0,4 g/kg BB/hari selama dua minggu.2,4 Plasmapheresis dan IVIG memiliki efektivitas yang sama, tapi tidak lebih efektif jika digunakan bersama-sama. Beberapa efek samping seperti sakit kepala, myalgia, athralgia, gejala seperti flu, demam, dan reaksi vasomotor dapat terjadi jika aliran infus terlalu berlebihan. Dapat terjadi komplikasi yang lebih berat seperti gagal ginjal transien, anafilaksis, gagal ginjal kongestif, meningitis aseptik, stroke, infark miokard, dan trombosis koroner, namun jarang sekali terjadi.2
Kortikosteroid pernah digunakan sebagai terapi untuk GBS tapi tidak disarankan.1,2 Dua penelitian, satu menggunakan prednisolon dosis konvensional dan satu lagi menggunakan injeksi intravena metil prednisolon dosis tinggi tidak menunjukkan manfaat yang bermakna. Kombinasi IVIG dengan metilprednisolon juga tidak menunjukkan keuntungan dibandingkan dengan IVIG sendirian.2
Selain untuk menghilangkan autoantibodi, terapi simptomatik juga perlu diperhatikan. Pasien dengan GBS akut yang cepat bertambah parah harus diobservasi di rumah sakit. Fungsi respirasi dan bulbar, denyut nadi, dan tekanan darah harus dimonitor dengan ketat selama fase progresif. Seperti yang sudah disebutkan tadi, pada 30% pasien mungkin akan terjadi gagal napas. Gejala gagal napas antara lain penurunan forced vital capacity (FVC), penurunan tekanan respirasi maksimal, dan hipoksemia. Sangat penting untuk memonitor FVC dan tekanan inspirasi negatif setiap 4-6 jam jika pasien sedang sadar. Pasien juga sebaiknya diperiksa menggunakan pulse oxymetry setiap malam untuk mendeteksi saturasi oksigen. Jika terjadi progresi penyakit cepat (< 7 hari), disfungsi bulbar, kelumpuhan wajah bilateral, dan instabilitas otonom, diperlukan ventilator. Intubasi harus dilakukan jika FVC di bawah 12-15 ml/kg BB atau PO2 arteri di bawah 70 mmHg. Jika bantuan pernapasan harus dilakukan lebih dari 2 minggu, dibutuhkan tracheostomi.2,4
Pada aritmia dan peningkatan tekanan darah, perlu dimonitor tekanan darah dan EKG untuk deteksi dini situasi yang membahayakan nyawa. Obat antihipertensi dan vasoaktif boleh diberikan dengan pengawasan ketat, terutama pada pasien dengan instabilitas otonom. Nyeri punggung dapat dihilangkan dengan obat antiinflamasi nonsteroid. Pada pasien dengan facial diplegia, keratitis harus dihindari menggunakan air mata artifisial dan menahan mata agar tetap tertutup di malam hari. Fisioterapi dilakukan secepat mungkin untuk mencegah kontraktur, imobilisasi sendi, dan venous stasis.2

Prognosis
GBS biasanya paling banyak menimbulkan gejala pada onset satu minggu, namun dapat berlanjut hingga tiga minggu. Kecepatan penyembuhan pada setiap pasien bervariasi. Beberapa dapat sembuh dengan cepat dan kembali ke fungsi normalnya hanya dalam beberapa minggu. Namun sebagian besar berlangsung lambat dan tidak sembuh selama berbulan-bulan.1
Pada pasien yang diobati beserta perawatan dan latihan respirasi, tingkat mortalitas dapat menurun dari 25% ke 2-5%.3 Namun pada pasien yang tidak diobati, sebanyak 35% akan mengalami hiporefleks permanen, atrofi, dan kelemahan otot-otot distal atau kelumpuhan otot wajah. Terdapat kemungkinan 2% untuk rekurens setelah sembuh.1

Differential Diagnosis
1.             Diphtheritic polyneuropathy
Dapat dibedakan dari GBS dengan periode laten yang panjang di antara infeksi saluran pernapasan dengan neuritis, frekuensi paralisis akomodasi mata, dan perkembangan simptom yang relatif lambat.1
2.             Poliomyelitis anterior akut
Dapat dibedakan dari GBS dengan paralisis yang asimetris, gejala iritasi meningeal, demam, dan pleositosis CSF.1
3.             AIDS
Terkadang pasien dengan AIDS akan mengalami sindrom mirip GBS yang diawali dengan infeksi CMV.1
4.             Neuropati porfirik
Neuropati porfirik mirip dengan GBS secara klinis, tapi protein CSF normal, terjadi krisis abdomen, gejala mental, onset muncul setelah konsumsi barbiturat atau obat lainnya, serta kadar asam d-aminolevulinat dan porphobilinogen yang tinggi di urin.1
5.             Neuropati toksik
Neuropati toksik disebabkan oleh inhalasi hexane, talium, atau ingesti arsenik. Perbedaannya dengan GBS adalah riwayat terekspos toksin dan belakangan alopesia.1
6.             Botulisme
Botulisme sangat mirip dengan GBS, namun otot okular dan pupil ikut terpengaruh. Uji elektrofisiologis menunjukkan kecepatan konduksi saraf yang normal dan respons terfasilitasi terhadap rangsang berulang.1


Daftar Pustaka
1.             Rowland LP. Merritt’s Neurology. 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2000. p. 469-470.
2.             Bradley WG, Darroff RB, Fenichel GM, Jankovic J. Neurology in Clinical Practice. 4th ed. Philadelphia: Elsevier; 2004. p. 2336-2344.
3.             Kumar V, Abbas A, Fausto N. Diseases of Peripheral Nerve. In: Robbins and Cotran’s Pathological Basis of Disease. Philadelphia: Saunders; 2007.
4.             Adams RD, Victor M, Ropper AH. Principles of Neurology. 6th ed. USA: McGraw-Hill; 1998. p. 440-441.

Senin, 12 September 2011

Aktifkan Kembali Posyandu!

Berikut ini adalah tulisan yang saya buat saat saya masih menjadi anggota muda MA dan tidak sempat dimuat, karena itu saya post di sini. Selamat menikmati.

---




Posyandu, sebagai suatu usaha pelayanan kesehatan ibu dan anak, kini tak terdengar lagi ingar-bingarnya. Apakah yang terjadi sesungguhnya?



Tingginya angka kematian bayi di Indonesia menimbulkan keresahan tersendiri di antara masyarakat. Banyak alasan yang bisa dikemukakan atas kejadian itu, mulai dari kondisi lingkungan yang kurang baik sampai merebaknya berbagai jenis penyakit. Namun di saat kita tidak bisa begitu saja mengubah kondisi lingkungan atau mencegah berkembangnya penyakit, kita perlu mencari cara lain untuk menjamin kesehatan ibu dan anak. Salah satu cara tersebut adalah melalui posyandu.

Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) adalah suatu usaha swadaya yang dilaksanakan oleh, dari, dan untuk masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat pada umumnya dan kesehatan ibu dan anak pada khususnya. Posyandu terdiri atas dua jenis yaitu posyandu balita dan posyandu lansia. Sesuai dengan namanya, posyandu balita lebih mengarah kepada kesehatan ibu hamil, balita dan orangtuanya, ibu yang menyusui dengan bayinya, serta perempuan usia subur, sedangkan posyandu lansia lebih mengarah pada kesehatan orang lanjut usia. Namun yang lebih kita kenal sehari-hari adalah posyandu balita.

Kegiatan yang dilaksanakan di posyandu dikenal dengan nama “sistem 5 meja”. Hal ini bukan berarti dalam posyandu hanya memiliki 5 meja, namun kegiatan Posyandu harus mencakup 5 kegiatan berikut ini, antara lain pendaftaran ibu/anak, penimbangan balita, pencatatan hasil penimbangan, penyuluhan dan pelayanan gizi bagi ibu dan anak, dan pelayanan kesehatan, imunisasi, KB, dan pojok oralit. Untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut, diperlukan kader yang memiliki kemampuan komunikasi interpersonal, pengetahuan kesehatan dasar dan gizi, dan keterampilan yang berhubungan dengan kegiatan di posyandu seperti pencatatan, pelaporan, penimbangan, dan sebagainya.

Setelah bertahun-tahun berjalan, posyandu dinilai merupakan program yang cukup baik. Kegiatan posyandu yang dari, oleh, dan untuk masyarakat memang sangat diperlukan untuk mewujudkan Indonesia yang sehat. Terlebih lagi, dengan adanya dukungan dari pemerintah, seharusnya posyandu bisa terus melaksanakan tugasnya.

Sayangnya, kenyataan tidak seindah yang tertulis di kertas. Posyandu kini mulai kehilangan ingar-bingarnya. Di beberapa daerah, posyandu bahkan sudah dapat dikatakan “mati suri” karena aktivitas-aktivitas dasarnya tidak mampu berjalan karena berbagai sebab seperti kurangnya kader, tidak adanya partisipasi masyarakat, dan kurangnya pembinaan dari sektor pemerintah terkait. Dari sejumlah 267.000 posyandu yang ada di Indonesia, kini yang aktif hanya sekitar 37,3%, dan dari semua anak balita di Indonesia, hanya 45,4% yang dipantau perkembangannya.

Sebenarnya, rencana Revitalisasi dan Pengembangan Kembali Posyandu sudah dicanangkan sejak lama, tepatnya sejak tahun 2001, namun baru digalakkan ketika Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden. Latar belakang seruan itu tentu saja karena menipisnya kesiapsiagaan masyarakat untuk menghadapi berbagai masalah kesehatan yang muncul di antara mereka.

Rencana ini disambut baik oleh Tim Penggerak PKK Provinsi DKI Jakarta, yang bergerak cepat mendorong Bapak Gubernur DKI Jakarta untuk memberikan payung hukum bagi pelaksanaan Program Perkuatan dan Pengembangan Posyandu di DKI Jakarta. Pada tanggal 7 Desember 2005 dikeluarkanlah Surat Keputusan Nomor 2251 Tahun 2005 tentang Program Perkuatan Posyandu dan Pembentukan Tim Adhoc Posyandu Tim Penggerak PKK Provinsi DKI Jakarta. Hasilnya, jumlah bayi yang ditimbang di Jakarta meningkat dari 43% menjadi 75%. Namun di provinsi-provinsi lain, penggalakan program revitalisasi posyandu ini belum terdengar gaungnya.

Salah satu penyebab kurang berhasilnya program ini diduga karena masalah dana. Sebenarnya, pemerintah daerah seharusnya masih mengucurkan dana untuk posyandu melalui dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) yang diberikan melalui puskesmas. Upaya kesehatan yang dapat dibiayai oleh BOK mencakup upaya-upaya promotif dan preventif yang meliputi Promosi Kesehatan, Kesehatan Ibu dan Anak, Keluarga Berencana, Imunisasi, dan lain-lain yang sangat berkaitan dengan posyandu.

Hal yang tak kalah penting selain ketersediaan dana adalah partisipasi dari masyarakat, baik sebagai kader maupun pengguna layanan posyandu. Jika masyarakat turut berperan aktif, niscaya posyandu akan mampu menggeliat serta bergerak kembali. Karena bukankah posyandu adalah dari, oleh, dan untuk masyarakat?

Selasa, 06 September 2011

Hikmah Puasa Untuk Kesehatan

Bulan puasa memang telah berlalu, tapi tidak ada salahnya kalau kita meninjau ulang hal ini dari aspek kesehatan. Selamat menikmati.


"Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu sekalian puasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu sekalian bertaqwa." (QS Al-Baqarah : 183)

Puasa, tentunya kita sudah sangat mengenal istilah tersebut. Ketika kita melakukan puasa, kita harus menahan diri untuk tidak makan, minum, dan melakukan hal-hal lain yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Bagi yang belum terbiasa melakukan puasa, mungkin hal ini terdengar sedikit berat, apalagi pada bulan Ramadhan di mana kita harus melakukannya selama tiga puluh hari.

Dari kewajiban kita untuk berpuasa ini, mulai timbul pertanyaan. Mampukah kita untuk tetap sehat saat berpuasa? Bukankah tubuh kita memerlukan energi dari makanan agar tetap dapat menjalankan aktivitasnya sehari-hari? Apakah berpuasa tidak akan membuat kita menjadi sakit dan lemah?

Ternyata tidak, justru sebaliknya. Dari beberapa penelitian, diketahui bahwa berpuasa sesungguhnya memiliki banyak sekali manfaat bagi kesehatan kita, antara lain:

1. Memberikan kesempatan istirahat kepada alat pencernaan

Pada saat kita tidak berpuasa, alat pencernaan dalam tubuh bekerja keras, karena itu pada saat berpuasa kita memberikan “istirahat” kepada alat pencernaan sehingga oksigenisasi tidak lagi terus-menerus terjadi di perut melainkan di kepala.

2. Membersihkan tubuh dari kotoran dan racun (detoksifikasi)

Puasa berarti membatasi jumlah kalori yang masuk ke dalam tubuh kita, sehingga seluruh cadangan makanan yang ada dalam tubuh dibakar dan dihasilkan enzim antioksidan yang berfungsi menyingkirkan zat-zat racun dalam tubuh.

3. Menambah jumlah sel darah putih

Sel darah putih berfungsi untuk memerangi penyakit yang masuk ke tubuh, sehingga dengan bertambahnya jumlah sel darah putih, ketahanan tubuh kita dengan sendirinya akan meningkat.

4. Menyeimbangkan kadar asam dan basa dalam tubuh

5. Memperbaiki fungsi hormon

6. Meremajakan sel-sel tubuh

Hati, lambung, dan organ-organ vital lebih banyak beristirahat saat puasa, sehingga sel-sel tubuh mempunyai kesempatan untuk beregenerasi dan membuat kita menjadi awet muda serta memperlambat proses penuaan.

7. Meningkatkan fungsi organ tubuh

8. Menyeimbangkan saraf simpatis dan parasimpatis

9. Mengurangi resiko stroke

Puasa dapat menyingkirkan kolesterol dalam darah yang dapat menyumbat pembuluh darah (arterosklerosis).

10. Menurunkan tekanan darah tinggi

11. Meningkatkan kualitas dan kuantitas sperma

Selain manfaat-manfaat yang telah disebutkan di atas, rupanya puasa juga mempunyai khasiat untuk mencegah timbulnya berbagai penyakit, terutama penyakit yang timbul karena pola makan yang berlebihan. Kelebihan gizi atau overnutrisi dapat mengakibatkan kegemukan yang akhirnya berujung pada penyakit-penyakit degeneratif seperti tingginya kadar kolesterol dan trigliserida, jantung koroner, kencing manis, dan lain-lain.

Puasa tidak hanya berguna bagi kesehatan jasmani, namun juga kesehatan jiwa. Seperti yang sudah disebutkan di atas, puasa dapat memberikan kesempatan bagi sel-sel tubuh untuk meremajakan diri, sehingga tubuh menjadi awet muda. Bagi terutama para wanita, hal ini adalah cara terbaik untuk mempercantik diri secara alami. Puasa juga penting dalam mengendurkan ketegangan jiwa sehingga kita terhindar dari stres, memperoleh kemampuan untuk mengontrol diri sendiri, dan mengendalikan gairah seks.

Bagaimana dengan orang yang memiliki tubuh yang lemah? Mampukah dia untuk berpuasa? Tentu saja! Karena itu, kita patut memperhatikan asupan makanan yang masuk ke dalam tubuh kita pada saat sahur dan berbuka.

Sahur amat perlu untuk mengimbangi zat gizi yang tak diperoleh tubuh selama sehari berpuasa. Anjuran sahur bukan semata-mata untuk mendapatkan tenaga yang prima selama menunaikan ibadah puasa, melainkan juga mengandung makna bahwa puasa perlu persiapan agar selama berpuasa produktivitas kerja dan aktivitas sehari-hari tidak terganggu. Sebaiknya makanan untuk sahur dipilih yang mengandung serat dan berkuah seperti sayur dan buah-buahan karena dapat mengurangi rasa lapar dan haus.

Bagaimana dengan berbuka puasa? Menurut hadis riwayat Ahmad dan Abu Dawud, “Dari Anas bin Malik ia berkata: Adalah Rasulullah berbuka dengan Rutab(kurma yang lembek) sebelum shalat, jika tidak terdapat Rutab, maka beliau berbuka dengan Tamr (kurma kering),maka jika tidak ada kurma kering beliau meneguk air.

Kurma yang disebutkan di sini tidaklah sama dengan “yang manis-manis”. Kurma pada kondisi aslinya tidak terlalu manis karena mengandung karbohidrat kompleks, sedangkan gula yang terkandung dalam makanan dan minuman yang manis-manis yang biasa kita konsumsi saat berbuka puasa mengandung karbohidrat sederhana. Karbohidrat kompleks membutuhkan waktu untuk diubah tubuh menjadi energi. Dengan demikian, makanan diproses pelan-pelan dan tenaga diperoleh sedikit demi sedikit sehingga kita tidak cepat lapar dan energi tersedia dalam waktu lama. Sebaliknya, karbohidrat sederhana menyediakan energi sangat cepat, tapi akan cepat sekali habis sehingga kita mudah lemas.

Pada waktu buka puasa dan sahur suplai gizi perlu diusahakan memenuhi unsur-unsur yang dibutuhkan tubuh, meliputi enam jenis zat gizi yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan air. Makan yang seimbang baik dalam porsi maupun gizi akan mempengaruhi susunan saraf pusat dan kondisi biokimia tubuh.

Oleh karena itu, saudara-saudariku sesama muslim, janganlah takut untuk berpuasa. Sesungguhnya puasa sama sekali tidak berbahaya bagi kesehatan, sebaliknya puasa akan membuat kita menjadi sehat. Memang sekilas menahan lapar dan haus itu sulit, namun alangkah banyaknya manfaat yang bisa kita dapatkan jika kita bisa melakukannya selama satu bulan saja. Selain itu, masih banyak pula pahala yang akan kira peroleh di akhirat nantinya.

Diriwayatkan daripada Abu Hurairah Radhiallahu 'anhu daripada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Segala amal kebajikan anak Adam itu dilipat-gandakan pahalanya kepada sepuluh hingga ke 700 kali. Allah berfirman: "Kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu adalah untukKu dan Aku memberikan balasan (pahala) kepadanya, (karena) dia (orang yang berpuasa) telah meninggalkan syahwat dan makan minumnya karena Aku." (HR. Muslim)

Minggu, 28 Agustus 2011

Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation, Hilangkan Nyeri Dengan Aliran Listrik


Rasa nyeri (pain) dapat didefinisikan sebagai suatu sensasi terkait kerusakan jaringan atau kejadian yang berpotensi menyebabkan kerusakan jaringan. Nyeri memungkinkan kita untuk menghindari cedera yang lebih luas. Sekalipun begitu, banyak orang ingin terlepas dari perasaan nyeri karena sensasinya yang tidak nyaman sehingga dapat mengganggu aktivitas. Caranya adalah dengan menggunakan obat-obatan penghilang rasa nyeri atau memanfaatkan elektroanalgesia seperti pada transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS).

Prinsip elektroanalgesia sebenarnya sudah ditemukan sejak zaman Yunani Kuno, berdasarkan laporan Scribonius Largus tentang penggunaan ikan yang bisa mengeluarkan listrik untuk meredakan nyeri. Lalu pada abad ke-16 hingga 18 Benjamin Franklin menemukan berbagai alat elektrostatik yang biasa digunakan untuk menghilangkan sakit kepala dan berbagai nyeri lainnya. Pada abad ke-19 barulah ditemukan alat bernama electreat yang prinsipnya kurang-lebih sama dengan TENS saat ini, hanya saja alat ini tidak portabel dan kemampuan mengontrol nyerinya pun terbatas.

TENS modern pertama kali dipatenkan pada tahun 1974. Satu unit TENS terdiri atas satu atau lebih generator listrik, baterai, dan satu set elektroda. Elektroda-elektroda tersebut biasanya ditempatkan di permukaan kulit pada bagian yang terasa nyeri, meski penempatan di tempat lain seperti di atas saraf, tempat pemicu rasa nyeri, dan titik-titik akupunktur juga dapat memberikan efek yang signifikan. Pasien diinstruksikan untuk mengatur sendiri frekuensi dan intensitas aliran listrik yang menurut mereka paling baik untuk mengontrol rasa nyeri.

Bagaimana cara TENS dapat menghilangkan nyeri? Penelitian menunjukkan bahwa stimulasi listrik dari TENS mengaktivasi serat-serat saraf bermielin dengan ambang rangsang rendah. Input aferen dari serat-serat saraf tersebut menghambat perambatan impuls nosiseptif dalam serat C yang kecil tak bermielin dengan menutup “gerbang” yang menghantarkan impuls nosiseptif ke talamus dan korteks. Teori gate-control ini dijelaskan oleh Melzack dan Wall pada tahun 1965.

Terdapat tiga pilihan yang dapat digunakan dalam aplikasi TENS, yaitu TENS konvensional, akupunktur, dan pulsed TENS. TENS konvensional memiliki frekuensi tinggi (40-150 Hz) dan intensitas rendah (10-30 mA). Durasi pulsasinya singkat (50 ms) dan mampu melenyapkan nyeri hampir seketika. Jika frekuensi diturunkan menjadi 1-10 Hz dan intensitas dinaikkan sampai ke batas toleransi (pengaturan seperti akupunktur) dapat memberikan hasil yang lebih baik, namun sangat tidak nyaman dan banyak pasien yang tidak bisa menoleransinya. Pulsed TENS menggunakan semburan listrik berfrekuensi 1-2 Hz di sela-sela impuls berfrekuensi 10 Hz. Namun belum ditemukan keuntungan metode ini dibandingkan TENS konvensional.

Penggunaan TENS diindikasikan bagi pasien dengan nyeri neurogenik, muskuloskeletal, dan viseral; dismenorea; neuropati diabetik; dan penyakit lain seperti angina pektoris dan mengontrol rasa mual pasca kemoterapi. TENS jarang menimbulkan efek samping, meski 33% pasien ditemukan mengalami iritasi kulit.

Meski penggunaan TENS sangat menyenangkan, terdapat beberapa hal yang patut diperhatikan. Misalnya, pasien yang menggunakan alat pacu jantung tidak boleh menggunakan TENS karena dapat menyebabkan kegagalan dari alat pacu jantung. Wanita hamil juga tidak disarankan menggunakan TENS karena dapat menyebabkan kelahiran prematur. TENS juga tidak boleh ditempatkan sembarangan, contohnya di daerah arteri karotis karena dapat menyebabkan hipotensi melalui perangsangan refleks vagovagal.

TENS memang alat yang praktis untuk mengontrol rasa nyeri. Namun karena belum banyak penelitian resmi mengenainya, kita belum dapat memastikan efektivitasnya jika dibandingkan dengan terapi farmakologis. Meskipun begitu, tidak ada salahnya jika alat ini digunakan, asalkan tetap mengikuti kaidah yang berlaku, dan terutama ingat prinsip kita, first all, do no harm!

Sabtu, 30 Juli 2011

Cermat Memilih Obat Gagal Jantung

Berikut ini tulisan saya untuk Media Aesculapius yang ditolak editor karena dianggap terlalu 'guideline', karena itu saya post di sini. Selamat menikmati.

---

Gagal jantung adalah suatu sindroma klinik akibat kelainan struktural dan fungsional jantung yang mengganggu kemampuan ventrikel untuk terisi darah dan mengeluarkan darah. Mengingat statusnya sebagai penyebab kematian nomor satu di dunia, tentunya penderita penyakit ini memerlukan terapi farmakologi yang tepat.

Lini pertama bagi gagal jantung adalah obat-obatan dari golongan diuretik. Dari ketiga jenis obat diuretik, yang paling banyak digunakan adalah diuretik kuat, contohnya furosemide. Diuretik berguna untuk mengurangi tekanan vena dan preload ventrikel, juga dapat mengurangi retensi air dan garam serta edema. Penggunaannya biasa dikombinasikan dengan obat penyekat enzim konversi angiotensin (ACE-I) karena diuretik tidak mengurangi mortalitas.

Penyekat enzim konversi angiotensin digunakan sebagai lini pertama pengobatan gagal jantung bila tidak terdapat retensi cairan. Cara kerjanya adalah menurunkan afterload, juga dapat mengurangi remodelling jantung. Karena obat ini dapat menyebabkan batuk kering, pasien yang tak tahan dengan efek samping tersebut dapat menggunakan obat golongan penyekat reseptor angiotensin (ARB) yang memiliki efek sama. Namun harga obat golongan ARB lebih mahal daripada ACE-I. Kedua jenis obat ini dikontraindikasikan untuk wanita hamil karena bersifat toksik pada janin.

Gagal jantung yang stabil dapat diatasi dengan penggunaan obat penyekat beta (β-blocker). Obat golongan ini bekerja antara lain dengan mengurangi frekuensi aritmia, meningkatkan fraksi ejeksi ventrikel kiri, dan memperlambat disfungsi kontraktilitas miokardium. Selama tidak ada kontraindikasi seperti asma bronkial, blok AV derajat 2-3, bradikardia, dan hipotensi, obat ini boleh digunakan. Penelitian menunjukkan bahwa obat ini dapat mengurangi durasi opname dan bahkan mortalitas jika dikombinasikan dengan penyekat enzim konversi angiotensin.

Antagonis aldosteron dapat digunakan sebagai terapi gagal jantung karena efeknya melawan efek aldosteron sehingga mengurangi progresi remodelling jantung. Obat ini direkomendasikan sebagai obat kombinasi dengan penyekat enzim konversi angiotensin, penyekat beta, dan diuretik.

Pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrium atau ritme sinus dapat diterapi menggunakan obat golongan glikosida jantung, yaitu digoksin. Digoksin memiliki tiga efek pengobatan, yaitu inotropik positif, kronotropik negatif, dan penurunan aktivitas saraf simpatis. Kombinasi dengan penyekat beta memberikan efek yang lebih baik daripada sendiri, namun perlu berhati-hati sebab dapat mengurangi efek inotropik digoksin.

Obat-obat gagal jantung memang bervariasi. Seorang dokter patut membekali diri dengan pengetahuan ini agar dapat memberikan pengobatan yang terbaik bagi pasiennya. Namun yang terpenting, sebelum mengambil tindakan untuk pasien, selalu ingat prinsip kita, first all, do no harm!