Kamis, 15 Desember 2011

Sindrom Guillain-Barre


Sindrom Guillain-Barre (Guillain-Barre Syndrome/GBS) adalah suatu penyakit di sistem saraf perifer yang mengancam hidup,1,2,3,4 dengan insidens kira-kira 0,6-1,9 dari 100.000.1 Terjadi peningkatan insidens dari 0,8 pada orang berusia di bawah 18 tahun hingga 3,2 pada orang berusia di atas 60 tahun.2 Karakteristik penyakit ini adalah kelemahan yang dimulai dari ekstremitas distal namun perlahan-lahan menyebar hingga mempengaruhi fungsi otot-otot proksimal (ascending paralysis). Secara histologis, ciri khas penyakit ini adalah inflamasi dan demielinisasi ujung-ujung saraf spinal dan perifer (radiculoneuropathy).3

Etiologi
Sekitar dua pertiga kasus diawali dengan kelainan akut mirip influenza atau infeksi gastrointestinal yang biasanya menghilang pada saat neuropati mulai menunjukkan gejalanya, tepatnya sekitar 5 hari sampai 3 minggu sebelumnya. Infeksi Campylobacter jejuni, cytomegalovirus, Epstein-Barr virus, dan Mycoplasma pneumoniae juga diketahui memiliki kaitan epidemiologik yang cukup signifikan dengan GBS. Namun pada saraf perifer sendiri tidak ditemukan adanya agen infeksius, karena itu reaksi imunologis diduga sebagai penyebab.1,2,3,4
Sebuah penelitian membuktikan bahwa suatu penyakit inflamasi pada sistem saraf perifer yang mirip dengan GBS muncul pada hewan eksperimental yang diberikan imunisasi dengan keseluruhan saraf perifer, myelin saraf perifer, dan di beberapa spesies, protein basal P2 mielin saraf perifer atau galaktoserebrosida. Terjadi respon imun yang dimediasi sel T, diikuti demielinisasi segmental yang diinduksi makrofag. Penelitian lain menunjukkan limfosit menyebabkan demielinisasi pada kultur jaringan serat saraf termielinisasi. Circulating antibodies mungkin juga berperan.2

Penampakan Histopatologis
Dari pemeriksaan histopatologis, temuan yang dominan adalah inflamasi nervus perifer yang bermanifestasi sebagai infiltrasi limfosit, makrofag, dan sel plasma ke perivenular dan endoneurial. Jumlah sel-sel radang tersebut bervariasi dari hanya beberapa buah (sparse seeding) di ruang perivenous sampai kumpulan besar sel-sel mononuklear yang menyebar ke seluruh nervus. Demielinisasi segmental pada nervus perifer merupakan lesi primer, tapi kerusakan akson juga merupakan ciri khas.3
Pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron, teridentifikasi efek awal pada selubung mielin. Prosesus sitoplasmik makrofag menembus membran basal sel Schwann, terutama pada nodus Ranvier, dan meluas di antara lamela mielin, memisahkan mielin tersebut dari akson. Sisa-sisa selubung mielin kemudian akan dimakan oleh makrofag. Fokus inflamasi dan demielinisasi akan menyebar secara luas di seluruh nervus perifer, namun intensitasnya berbeda. Reaksi inflamasi terkuat biasanya terletak pada radiks saraf motorik spinal dan kranial serta struktur-struktur yang sejajar.3

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis utama dari GBS, seperti yang sudah disebutkan di atas tadi, adalah ascending paralysis.3 Otot-otot proksimal di kaki akan terkena paling dahulu, kemudian dada, intercostal, lengan, leher, dan otot-otot kranial.4 Lebih dari 50% pasien ditemukan mengalami facial diplegia, disfagia, atau disarthria.1 Pada lebih dari 30% pasien akan terjadi gagal napas hingga membutuhkan ventilator.2 Terjadi kerusakan sensorik yang bervariasi pada berbagai pasien; ada yang fungsi sensoriknya tidak berubah sama sekali, dan ada pula yang mengalami kesulitan besar dalam mempersepsikan posisi sendi, getaran, nyeri, dan suhu. Terkadang ada juga pasien yang mengalami papilledema, ataksia sensorik, atau gejala disfungsi otonom (aritmia, hipotensi ortostatik, hipertensi transien). Pada kebanyakan pasien juga akan ditemukan muscle tenderness dan saraf yang sensitif terhadap tekanan.1

Klasifikasi
GBS terdiri atas beberapa subtipe yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1.             Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)
AIDP adalah varian dari GBS di mana terjadi inflamasi dan demielinisasi ujung-ujung saraf spinal dan perifer. Subtipe ini paling banyak ditemukan.1,2,3,4
2.             Acute motor axonal neuropathy (AMAN)
Pada varian GBS yang ini terjadi degenerasi akson motorik dan hanya sedikit inflamasi atau demielinisasi. AMAN biasanya terjadi setelah infeksi Campylobacter jejuni atau injeksi parenteral gangliosida.1
3.             Acute motor sensory axonal neuropathy
Terjadi karena cedera di akson sensorik dan motorik yang diperantarai sistem imun. Subtipe ini banyak disorot karena tergolong berat dan sulit sembuh.2
4.             Miller-Fisher Syndrome
Sindrom Miller-Fisher, yang mencakup 5% dari seluruh kasus GBS, dicirikan dengan gait ataxia, areflexia, dan ophthalmoparesis, terkadang juga terjadi abnormalitas pupil. Sindrom ini termasuk GBS karena biasanya diawali infeksi saluran pernapasan, mengalami progresi selama berminggu-minggu, dan kandungan protein CSF meningkat. Tidak ada kelemahan ekstremitas dan konduksi saraf normal.1
5.             Acute sensory neuropathy/neuronopathy
6.             Acute autonomic neuropathy/pandysautonomia
Kelainan ini dicirikan dengan onset cepat kegagalan sistem saraf simpatis dan parasimpatis tanpa melibatkan saraf sensorik maupun motorik. Pasien menunjukkan hipotensi ortostatik, anhidrosis, mata dan mulut kering, fixed pupils, serta gangguan fungsi usus dan kandung kemih. Sebagian pasien ditemukan memiliki autoantibodi terhadap reseptor asetilkolin ganglionik yang mungkin berperan dalam patogenesis dengan menghambat transmisi kolinergik di ganglia otonom.2

Pemeriksaan
Di awal timbulnya gejala, dapat ditemukan menghilangnya refleks tendon dalam. Peningkatan ringan kadar enzim hati tanpa alasan jelas ditemukan pada kira-kira sepertiga pasien. Hiponatremia juga dapat ditemukan pada pasien yang menggunakan ventilator.2
Untuk memastikan diagnosis, diperlukan pemeriksaan CSF. Pemeriksaan ini menunjukkan peningkatan kadar protein, meski biasanya normal pada beberapa hari pertama.1,2,4 Pada 10% pasien, kadar protein CSF tetap normal. IgG oligoklonal dan peningkatan kadar protein mielin dapat ditemukan pada beberapa pasien.2 Hitung sel biasanya normal, namun pada beberapa pasien ditemukan 10-100 sel mononuklear/µl CSF. Jika penyakit diawali dengan infeksi virus, dapat dibuktikan menggunakan tes serologis. Peningkatan titer antibodi IgA atau IgG pada gangliosida GM1 atau GD1a dapat ditemukan pada subtipe aksonal, sedangkan antibodi anti GQ1b ditemukan pada sindrom Miller-Fisher.1
Abnormalitas pada pemeriksaan elektrofisiologis dapat ditemukan pada 90% kasus dan menunjukkan adanya demielinisasi multifokal terkait degenerasi akson sekunder. Abnormalitas elektrofisiologis yang biasanya ditemukan adalah prolonged distal motor, latensi gelombang F, gelombang F tidak ada atau impersisten, pemblokiran konduksi, penurunan amplitudo CMAF distal, dan penurunan kecepatan konduksi motorik. 2

Tatalaksana
Untuk menghilangkan efek buruk autoantibodi, plasmapheresis (pemindahan antibodi abnormal dari tubuh) dan injeksi intravenous immunoglobulin (IVIG) dosis tinggi terbukti efektif.1,2,4 Enam penelitian yang melibatkan lebih dari 600 pasien membuktikan bahwa plasmapheresis mampu mempersingkat durasi penyembuhan pada pasien dengan GBS akut. Terapi ini direkomendasikan bagi pasien dengan kelemahan otot tingkat menengah hingga parah (hanya bisa berjalan dengan bantuan atau lebih buruk lagi).2 Pertukaran antibodi dilakukan sebanyak lima kali (40-50 mL/kg BB) menggunakan continuous flow machine selama beberapa hari dengan saline dan albumin sebagai cairan pengganti.2,4 Plasmapheresis dapat menimbulkan beberapa komplikasi seperti hematoma pada tempat penusukan, pneumotoraks setelah insersi central line, dan septicemia karena kateter. Septicemia, instabilitas kardiovaskular, dan perdarahan aktif merupakan kontraindikasi.2
Tiga penelitian yang membandingkan plasmapheresis dengan IVIG membuktikan manfaat IVIG pada pemberian lima kali sehari dengan dosis 0,4 g/kg BB/hari selama dua minggu.2,4 Plasmapheresis dan IVIG memiliki efektivitas yang sama, tapi tidak lebih efektif jika digunakan bersama-sama. Beberapa efek samping seperti sakit kepala, myalgia, athralgia, gejala seperti flu, demam, dan reaksi vasomotor dapat terjadi jika aliran infus terlalu berlebihan. Dapat terjadi komplikasi yang lebih berat seperti gagal ginjal transien, anafilaksis, gagal ginjal kongestif, meningitis aseptik, stroke, infark miokard, dan trombosis koroner, namun jarang sekali terjadi.2
Kortikosteroid pernah digunakan sebagai terapi untuk GBS tapi tidak disarankan.1,2 Dua penelitian, satu menggunakan prednisolon dosis konvensional dan satu lagi menggunakan injeksi intravena metil prednisolon dosis tinggi tidak menunjukkan manfaat yang bermakna. Kombinasi IVIG dengan metilprednisolon juga tidak menunjukkan keuntungan dibandingkan dengan IVIG sendirian.2
Selain untuk menghilangkan autoantibodi, terapi simptomatik juga perlu diperhatikan. Pasien dengan GBS akut yang cepat bertambah parah harus diobservasi di rumah sakit. Fungsi respirasi dan bulbar, denyut nadi, dan tekanan darah harus dimonitor dengan ketat selama fase progresif. Seperti yang sudah disebutkan tadi, pada 30% pasien mungkin akan terjadi gagal napas. Gejala gagal napas antara lain penurunan forced vital capacity (FVC), penurunan tekanan respirasi maksimal, dan hipoksemia. Sangat penting untuk memonitor FVC dan tekanan inspirasi negatif setiap 4-6 jam jika pasien sedang sadar. Pasien juga sebaiknya diperiksa menggunakan pulse oxymetry setiap malam untuk mendeteksi saturasi oksigen. Jika terjadi progresi penyakit cepat (< 7 hari), disfungsi bulbar, kelumpuhan wajah bilateral, dan instabilitas otonom, diperlukan ventilator. Intubasi harus dilakukan jika FVC di bawah 12-15 ml/kg BB atau PO2 arteri di bawah 70 mmHg. Jika bantuan pernapasan harus dilakukan lebih dari 2 minggu, dibutuhkan tracheostomi.2,4
Pada aritmia dan peningkatan tekanan darah, perlu dimonitor tekanan darah dan EKG untuk deteksi dini situasi yang membahayakan nyawa. Obat antihipertensi dan vasoaktif boleh diberikan dengan pengawasan ketat, terutama pada pasien dengan instabilitas otonom. Nyeri punggung dapat dihilangkan dengan obat antiinflamasi nonsteroid. Pada pasien dengan facial diplegia, keratitis harus dihindari menggunakan air mata artifisial dan menahan mata agar tetap tertutup di malam hari. Fisioterapi dilakukan secepat mungkin untuk mencegah kontraktur, imobilisasi sendi, dan venous stasis.2

Prognosis
GBS biasanya paling banyak menimbulkan gejala pada onset satu minggu, namun dapat berlanjut hingga tiga minggu. Kecepatan penyembuhan pada setiap pasien bervariasi. Beberapa dapat sembuh dengan cepat dan kembali ke fungsi normalnya hanya dalam beberapa minggu. Namun sebagian besar berlangsung lambat dan tidak sembuh selama berbulan-bulan.1
Pada pasien yang diobati beserta perawatan dan latihan respirasi, tingkat mortalitas dapat menurun dari 25% ke 2-5%.3 Namun pada pasien yang tidak diobati, sebanyak 35% akan mengalami hiporefleks permanen, atrofi, dan kelemahan otot-otot distal atau kelumpuhan otot wajah. Terdapat kemungkinan 2% untuk rekurens setelah sembuh.1

Differential Diagnosis
1.             Diphtheritic polyneuropathy
Dapat dibedakan dari GBS dengan periode laten yang panjang di antara infeksi saluran pernapasan dengan neuritis, frekuensi paralisis akomodasi mata, dan perkembangan simptom yang relatif lambat.1
2.             Poliomyelitis anterior akut
Dapat dibedakan dari GBS dengan paralisis yang asimetris, gejala iritasi meningeal, demam, dan pleositosis CSF.1
3.             AIDS
Terkadang pasien dengan AIDS akan mengalami sindrom mirip GBS yang diawali dengan infeksi CMV.1
4.             Neuropati porfirik
Neuropati porfirik mirip dengan GBS secara klinis, tapi protein CSF normal, terjadi krisis abdomen, gejala mental, onset muncul setelah konsumsi barbiturat atau obat lainnya, serta kadar asam d-aminolevulinat dan porphobilinogen yang tinggi di urin.1
5.             Neuropati toksik
Neuropati toksik disebabkan oleh inhalasi hexane, talium, atau ingesti arsenik. Perbedaannya dengan GBS adalah riwayat terekspos toksin dan belakangan alopesia.1
6.             Botulisme
Botulisme sangat mirip dengan GBS, namun otot okular dan pupil ikut terpengaruh. Uji elektrofisiologis menunjukkan kecepatan konduksi saraf yang normal dan respons terfasilitasi terhadap rangsang berulang.1


Daftar Pustaka
1.             Rowland LP. Merritt’s Neurology. 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2000. p. 469-470.
2.             Bradley WG, Darroff RB, Fenichel GM, Jankovic J. Neurology in Clinical Practice. 4th ed. Philadelphia: Elsevier; 2004. p. 2336-2344.
3.             Kumar V, Abbas A, Fausto N. Diseases of Peripheral Nerve. In: Robbins and Cotran’s Pathological Basis of Disease. Philadelphia: Saunders; 2007.
4.             Adams RD, Victor M, Ropper AH. Principles of Neurology. 6th ed. USA: McGraw-Hill; 1998. p. 440-441.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar