Sindrom Guillain-Barre
(Guillain-Barre Syndrome/GBS) adalah
suatu penyakit di sistem saraf perifer yang mengancam hidup,1,2,3,4
dengan insidens kira-kira 0,6-1,9 dari 100.000.1 Terjadi peningkatan
insidens dari 0,8 pada orang berusia di bawah 18 tahun hingga 3,2 pada orang
berusia di atas 60 tahun.2 Karakteristik penyakit ini adalah
kelemahan yang dimulai dari ekstremitas distal namun perlahan-lahan menyebar
hingga mempengaruhi fungsi otot-otot proksimal (ascending paralysis). Secara histologis, ciri khas penyakit ini
adalah inflamasi dan demielinisasi ujung-ujung saraf spinal dan perifer (radiculoneuropathy).3
Etiologi
Sekitar dua pertiga
kasus diawali dengan kelainan akut mirip influenza atau infeksi
gastrointestinal yang biasanya menghilang pada saat neuropati mulai menunjukkan
gejalanya, tepatnya sekitar 5 hari sampai 3 minggu sebelumnya. Infeksi Campylobacter jejuni, cytomegalovirus,
Epstein-Barr virus, dan Mycoplasma
pneumoniae juga diketahui memiliki kaitan epidemiologik yang cukup
signifikan dengan GBS. Namun pada saraf perifer sendiri tidak ditemukan adanya
agen infeksius, karena itu reaksi imunologis diduga sebagai penyebab.1,2,3,4
Sebuah penelitian
membuktikan bahwa suatu penyakit inflamasi pada sistem saraf perifer yang mirip
dengan GBS muncul pada hewan eksperimental yang diberikan imunisasi dengan keseluruhan
saraf perifer, myelin saraf perifer, dan di beberapa spesies, protein basal P2
mielin saraf perifer atau galaktoserebrosida. Terjadi respon imun yang
dimediasi sel T, diikuti demielinisasi segmental yang diinduksi makrofag. Penelitian
lain menunjukkan limfosit menyebabkan demielinisasi pada kultur jaringan serat
saraf termielinisasi. Circulating
antibodies mungkin juga berperan.2
Penampakan
Histopatologis
Dari pemeriksaan
histopatologis, temuan yang dominan adalah inflamasi nervus perifer yang
bermanifestasi sebagai infiltrasi limfosit, makrofag, dan sel plasma ke
perivenular dan endoneurial. Jumlah sel-sel radang tersebut bervariasi dari
hanya beberapa buah (sparse seeding)
di ruang perivenous sampai kumpulan besar sel-sel mononuklear yang menyebar ke
seluruh nervus. Demielinisasi segmental pada nervus perifer merupakan lesi
primer, tapi kerusakan akson juga merupakan ciri khas.3
Pada pemeriksaan dengan
mikroskop elektron, teridentifikasi efek awal pada selubung mielin. Prosesus
sitoplasmik makrofag menembus membran basal sel Schwann, terutama pada nodus
Ranvier, dan meluas di antara lamela mielin, memisahkan mielin tersebut dari akson.
Sisa-sisa selubung mielin kemudian akan dimakan oleh makrofag. Fokus inflamasi
dan demielinisasi akan menyebar secara luas di seluruh nervus perifer, namun
intensitasnya berbeda. Reaksi inflamasi terkuat biasanya terletak pada radiks
saraf motorik spinal dan kranial serta struktur-struktur yang sejajar.3
Manifestasi
Klinis
Manifestasi klinis
utama dari GBS, seperti yang sudah disebutkan di atas tadi, adalah ascending paralysis.3 Otot-otot
proksimal di kaki akan terkena paling dahulu, kemudian dada, intercostal,
lengan, leher, dan otot-otot kranial.4 Lebih dari 50% pasien
ditemukan mengalami facial diplegia, disfagia, atau disarthria.1 Pada
lebih dari 30% pasien akan terjadi gagal napas hingga membutuhkan ventilator.2
Terjadi kerusakan sensorik yang bervariasi pada berbagai pasien; ada yang
fungsi sensoriknya tidak berubah sama sekali, dan ada pula yang mengalami
kesulitan besar dalam mempersepsikan posisi sendi, getaran, nyeri, dan suhu.
Terkadang ada juga pasien yang mengalami papilledema, ataksia sensorik, atau
gejala disfungsi otonom (aritmia, hipotensi ortostatik, hipertensi transien).
Pada kebanyakan pasien juga akan ditemukan muscle
tenderness dan saraf yang sensitif terhadap tekanan.1
Klasifikasi
GBS terdiri atas
beberapa subtipe yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1.
Acute
inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)
AIDP adalah varian dari GBS di mana
terjadi inflamasi dan demielinisasi ujung-ujung saraf spinal dan perifer.
Subtipe ini paling banyak ditemukan.1,2,3,4
2.
Acute
motor axonal neuropathy (AMAN)
Pada varian GBS yang ini terjadi
degenerasi akson motorik dan hanya sedikit inflamasi atau demielinisasi. AMAN
biasanya terjadi setelah infeksi Campylobacter
jejuni atau injeksi parenteral gangliosida.1
3.
Acute
motor sensory axonal neuropathy
Terjadi karena cedera di akson
sensorik dan motorik yang diperantarai sistem imun. Subtipe ini banyak disorot
karena tergolong berat dan sulit sembuh.2
4.
Miller-Fisher
Syndrome
Sindrom Miller-Fisher, yang
mencakup 5% dari seluruh kasus GBS, dicirikan dengan gait ataxia, areflexia,
dan ophthalmoparesis, terkadang juga terjadi abnormalitas pupil. Sindrom ini
termasuk GBS karena biasanya diawali infeksi saluran pernapasan, mengalami
progresi selama berminggu-minggu, dan kandungan protein CSF meningkat. Tidak
ada kelemahan ekstremitas dan konduksi saraf normal.1
5.
Acute
sensory neuropathy/neuronopathy
6.
Acute
autonomic neuropathy/pandysautonomia
Kelainan ini dicirikan dengan onset
cepat kegagalan sistem saraf simpatis dan parasimpatis tanpa melibatkan saraf
sensorik maupun motorik. Pasien menunjukkan hipotensi ortostatik, anhidrosis,
mata dan mulut kering, fixed pupils,
serta gangguan fungsi usus dan kandung kemih. Sebagian pasien ditemukan
memiliki autoantibodi terhadap reseptor asetilkolin ganglionik yang mungkin
berperan dalam patogenesis dengan menghambat transmisi kolinergik di ganglia
otonom.2
Pemeriksaan
Di awal timbulnya
gejala, dapat ditemukan menghilangnya refleks tendon dalam. Peningkatan ringan
kadar enzim hati tanpa alasan jelas ditemukan pada kira-kira sepertiga pasien.
Hiponatremia juga dapat ditemukan pada pasien yang menggunakan ventilator.2
Untuk memastikan
diagnosis, diperlukan pemeriksaan CSF. Pemeriksaan ini menunjukkan peningkatan
kadar protein, meski biasanya normal pada beberapa hari pertama.1,2,4
Pada 10% pasien, kadar protein CSF tetap normal. IgG oligoklonal dan
peningkatan kadar protein mielin dapat ditemukan pada beberapa pasien.2
Hitung sel biasanya normal, namun pada beberapa pasien ditemukan 10-100 sel
mononuklear/µl CSF. Jika penyakit diawali dengan infeksi virus, dapat
dibuktikan menggunakan tes serologis. Peningkatan titer antibodi IgA atau IgG
pada gangliosida GM1 atau GD1a dapat ditemukan pada
subtipe aksonal, sedangkan antibodi anti GQ1b ditemukan pada sindrom
Miller-Fisher.1
Abnormalitas pada
pemeriksaan elektrofisiologis dapat ditemukan pada 90% kasus dan menunjukkan
adanya demielinisasi multifokal terkait degenerasi akson sekunder. Abnormalitas
elektrofisiologis yang biasanya ditemukan adalah prolonged distal motor, latensi gelombang F, gelombang F tidak ada
atau impersisten, pemblokiran konduksi, penurunan amplitudo CMAF distal, dan
penurunan kecepatan konduksi motorik. 2
Tatalaksana
Untuk menghilangkan
efek buruk autoantibodi, plasmapheresis (pemindahan antibodi abnormal dari
tubuh) dan injeksi intravenous
immunoglobulin (IVIG) dosis tinggi terbukti efektif.1,2,4 Enam
penelitian yang melibatkan lebih dari 600 pasien membuktikan bahwa
plasmapheresis mampu mempersingkat durasi penyembuhan pada pasien dengan GBS
akut. Terapi ini direkomendasikan bagi pasien dengan kelemahan otot tingkat
menengah hingga parah (hanya bisa berjalan dengan bantuan atau lebih buruk
lagi).2 Pertukaran antibodi dilakukan sebanyak lima kali (40-50
mL/kg BB) menggunakan continuous flow
machine selama beberapa hari dengan saline dan albumin sebagai cairan
pengganti.2,4 Plasmapheresis dapat menimbulkan beberapa komplikasi
seperti hematoma pada tempat penusukan, pneumotoraks setelah insersi central line, dan septicemia karena
kateter. Septicemia, instabilitas kardiovaskular, dan perdarahan aktif
merupakan kontraindikasi.2
Tiga penelitian yang
membandingkan plasmapheresis dengan IVIG membuktikan manfaat IVIG pada
pemberian lima kali sehari dengan dosis 0,4 g/kg BB/hari selama dua minggu.2,4
Plasmapheresis dan IVIG memiliki efektivitas yang sama, tapi tidak lebih
efektif jika digunakan bersama-sama. Beberapa efek samping seperti sakit
kepala, myalgia, athralgia, gejala seperti flu, demam, dan reaksi vasomotor
dapat terjadi jika aliran infus terlalu berlebihan. Dapat terjadi komplikasi
yang lebih berat seperti gagal ginjal transien, anafilaksis, gagal ginjal
kongestif, meningitis aseptik, stroke, infark miokard, dan trombosis koroner,
namun jarang sekali terjadi.2
Kortikosteroid pernah
digunakan sebagai terapi untuk GBS tapi tidak disarankan.1,2 Dua
penelitian, satu menggunakan prednisolon dosis konvensional dan satu lagi
menggunakan injeksi intravena metil prednisolon dosis tinggi tidak menunjukkan
manfaat yang bermakna. Kombinasi IVIG dengan metilprednisolon juga tidak
menunjukkan keuntungan dibandingkan dengan IVIG sendirian.2
Selain untuk
menghilangkan autoantibodi, terapi simptomatik juga perlu diperhatikan. Pasien
dengan GBS akut yang cepat bertambah parah harus diobservasi di rumah sakit.
Fungsi respirasi dan bulbar, denyut nadi, dan tekanan darah harus dimonitor
dengan ketat selama fase progresif. Seperti yang sudah disebutkan tadi, pada
30% pasien mungkin akan terjadi gagal napas. Gejala gagal napas antara lain
penurunan forced vital capacity
(FVC), penurunan tekanan respirasi maksimal, dan hipoksemia. Sangat penting
untuk memonitor FVC dan tekanan inspirasi negatif setiap 4-6 jam jika pasien
sedang sadar. Pasien juga sebaiknya diperiksa menggunakan pulse oxymetry setiap malam untuk mendeteksi saturasi oksigen. Jika
terjadi progresi penyakit cepat (< 7 hari), disfungsi bulbar, kelumpuhan
wajah bilateral, dan instabilitas otonom, diperlukan ventilator. Intubasi harus
dilakukan jika FVC di bawah 12-15 ml/kg BB atau PO2 arteri di bawah
70 mmHg. Jika bantuan pernapasan harus dilakukan lebih dari 2 minggu, dibutuhkan
tracheostomi.2,4
Pada aritmia dan
peningkatan tekanan darah, perlu dimonitor tekanan darah dan EKG untuk deteksi
dini situasi yang membahayakan nyawa. Obat antihipertensi dan vasoaktif boleh
diberikan dengan pengawasan ketat, terutama pada pasien dengan instabilitas
otonom. Nyeri punggung dapat dihilangkan dengan obat antiinflamasi nonsteroid.
Pada pasien dengan facial diplegia, keratitis harus dihindari menggunakan air
mata artifisial dan menahan mata agar tetap tertutup di malam hari. Fisioterapi
dilakukan secepat mungkin untuk mencegah kontraktur, imobilisasi sendi, dan
venous stasis.2
Prognosis
GBS biasanya paling
banyak menimbulkan gejala pada onset satu minggu, namun dapat berlanjut hingga
tiga minggu. Kecepatan penyembuhan pada setiap pasien bervariasi. Beberapa
dapat sembuh dengan cepat dan kembali ke fungsi normalnya hanya dalam beberapa
minggu. Namun sebagian besar berlangsung lambat dan tidak sembuh selama
berbulan-bulan.1
Pada pasien yang
diobati beserta perawatan dan latihan respirasi, tingkat mortalitas dapat
menurun dari 25% ke 2-5%.3 Namun pada pasien yang tidak diobati,
sebanyak 35% akan mengalami hiporefleks permanen, atrofi, dan kelemahan
otot-otot distal atau kelumpuhan otot wajah. Terdapat kemungkinan 2% untuk
rekurens setelah sembuh.1
Differential Diagnosis
1.
Diphtheritic
polyneuropathy
Dapat dibedakan dari GBS dengan
periode laten yang panjang di antara infeksi saluran pernapasan dengan
neuritis, frekuensi paralisis akomodasi mata, dan perkembangan simptom yang
relatif lambat.1
2.
Poliomyelitis anterior akut
Dapat dibedakan dari GBS dengan
paralisis yang asimetris, gejala iritasi meningeal, demam, dan pleositosis CSF.1
3.
AIDS
Terkadang pasien dengan AIDS akan
mengalami sindrom mirip GBS yang diawali dengan infeksi CMV.1
4.
Neuropati porfirik
Neuropati porfirik mirip dengan GBS
secara klinis, tapi protein CSF normal, terjadi krisis abdomen, gejala mental,
onset muncul setelah konsumsi barbiturat atau obat lainnya, serta kadar asam
d-aminolevulinat dan porphobilinogen yang tinggi di urin.1
5.
Neuropati toksik
Neuropati toksik disebabkan oleh
inhalasi hexane, talium, atau ingesti arsenik. Perbedaannya dengan GBS adalah
riwayat terekspos toksin dan belakangan alopesia.1
6.
Botulisme
Botulisme sangat mirip dengan GBS,
namun otot okular dan pupil ikut terpengaruh. Uji elektrofisiologis menunjukkan
kecepatan konduksi saraf yang normal dan respons terfasilitasi terhadap
rangsang berulang.1
Daftar
Pustaka
1.
Rowland LP. Merritt’s Neurology. 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins; 2000. p. 469-470.
2.
Bradley WG, Darroff RB, Fenichel GM,
Jankovic J. Neurology in Clinical
Practice. 4th ed. Philadelphia: Elsevier; 2004. p. 2336-2344.
3.
Kumar V, Abbas A, Fausto N. Diseases of Peripheral Nerve. In: Robbins and Cotran’s Pathological Basis of
Disease. Philadelphia: Saunders; 2007.
4.
Adams RD, Victor M, Ropper AH. Principles of Neurology. 6th ed. USA:
McGraw-Hill; 1998. p. 440-441.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar